BANDUNG, (PRLM).- Kepergian Nano Suratno atau Kang Nano S. (66), Rabu (29/9) malam sekira pukul 23.15 WIB saat menjalani perawatan di ruang Paviliun ICU RS Immanuel, meninggalkan kesan sangat mendalam bukan hanya bagi para seniman maupun budayawan di Kota Bandung maupun Jawa Barat. Keluarga besar SMKN 10 (sebelumnya Kokar kemudian menjadi )SMKI, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, serta Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, juga merasakan kehilangan yang teramat sangat atas kepergian Maestro Seni Tembang dan Karawitan Sunda tersebut.
“Sosok Kang Nano selama ini oleh masyarakat luas hanya sebagai seniman pencipta lagu dan seni karawitan. Namun bagi kami dilingkungan SMKN 10, sosok Kang Nano lebih dari seorang guru ataupun pendidik yang memberikan ilmu pengetahuan seputar kesenian Sunda. Tapi lebih dari itu, Kang Nano juga memberikan suritauladan tentang bagaimana menjadi seorang seniman seutuhnya yang tidak bergantung pada pemerintah,” ujar Mas Nana Munajat, salah seorang staf pengajar di SMKN 10 Bandung yang dalam beberapa garapan karya panggung Kang Nano turut membantu.
Dikatakan Mas Nana, salah satu petuah yang sering diingatkan kepada anak didiknya adalah sebagai seniman harus memiliki ciri tapi jangan melupakan seni tradisi titincakan. Hal lain yang juga sering diingatkan, sebagai seniman (tradisi) jangan hanya berharap dari pemerintah, apalagi jadi seniman proposal yang berharap bantuan.
“Karena kalau menunggu pemerintah apalagi proposal mau sampai kapan menjadi seniman dan menghasilkan karya. Kalaupun mendapat bantuan dari pemerintah, karya yang dihasilkapun tidak akan murni karya sendiri karena pasti ada keinginan dari si pemberi biaya,” ujar Mas Nana.
Sementara itu Adjie Esa Poetra, yang sempat bertemu Kang Nano seusai pulang mengikuti International Gamelan Festival Amsterdam (IFGA) 2010, bukan hanya kehilangan teman berbagai ilmu dan pengalaman, juga kehilangan seorang guru dan panutan. “Karenanya, saya berharap ratusan karya Kang Nano dapat dilestarikan, bahkan saya akan berupaya untuk mewacanakan pembuatan museum karya Kang Nano. Sayang kalau sampai hilang dan dilupakan,” ujar Adjie Esa Poetra.
Sejumlah karyawan Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, menilai Kang Nano saat menjadi Kepala Balai Pengelolaan Taman Budaya (2000, saat BPTB dibawah Kanwil Depdikbud) sebagai sosok pemimpin yang konsen terhadap apa yang sudah di programkan dan harus dilaksanakan. “Sebagai cikal bakal taman budaya di tanah air, Kang Nano mampu menjadikan Taman Budaya Jawa Barat turut andil dalam melestarikan seni budaya tradisi serta memperkaya khasanah budaya tanah air,” ujar Gunawan, salah seorang staf di BPTB Jabar.
Kepergian Kang Nano juga dirasakan Kang Teteng salah seorang tukang becak yang tidak jauh dari rumah Kang Nano di Jalan Moh Toha no. 352 Bandung. “Jigana kapayun mah moal aya deui naros sabari ngelingan dibarengan ku seuri jeung dariana,” ujar Kang Teteng, mengungkapkan keramahan Kang Nano meski sudah menjadi seorang seniman besar tapi tetap menyapa orang kecil seperti dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Xpresikan Komentar sobat disini sesuka hati, sesuai dengan Tuntunan Demokrasi dan tanpa menyakiti siapapun yang tak layak disakiti !!!
No Spam
No Life Link
No Sara
No Teror