Sejumlah Umat Muslim Rohingya yang terpaksa meninggalkan Myanmar dan mengungsi ke India telah menceritakan penderitaan mereka yang dialami di Myanmar.
“Muslim Rohingya di Myanmar tidak memiliki kewarganegaraan. Mereka tidak memiliki akses untuk menikmati pendidikan atau kesehatan. Jika mereka dianggap berkewarganegaraan, mereka benar-benar tidak memiliki dokumen yang bisa ditunjukan menunjukkan di sini [India], "ungkap pengacara India Sahana Basavapatna kepada koresponden PressTV di New Delhi beberapa hari yang lalu.
Salah satu pengungsi Rohingya, Shakeela Begum, meninggalkan Myanmar dua tahun lalu menyusul penangkapan berulang suaminya untuk kerja paksa. Dia tidak memiliki informasi tentang anaknya sejak ia datang ke India, tapi salah satu kerabatnya yang baru saja melarikan diri ke India telah member kabar kepadanya tentang situasi anaknya.
Terkait hal tersebut, PressTV telah melakukan wawancara dengan Massoud Shadjareh, Kepala Komisi Hak Asasi Islam di London, mengenai masalah ini beberapa hari yang lalu. Berikut pemaparan beliau terhadap kondisi Muslim di Myanmar.
Press TV: Pertama-tama, bagaimana Anda menjelaskan situasi umat Islam di Myanmar?
Shadjareh: Sangat keterlaluan. Hal ini sudah mencapai titik yang sangat berbahaya. Faktanya adalah bahwa masyarakat internasional sangat minim melakukan tindakan saat melihat penindasan sistematis terhadap Muslim Rohingya yang tidak hanya dilakukan oleh militer dari masa lalu, tetapi juga oleh mereka yang disebut kaum demokrat.
Sungguh apa yang terjadi di Myanmar saat ini sangat mirip dengan apa yang terjadi di Bosnia Herzegovina dan apa yang terjadi di Jerman di bawah pimpinan Nazi?. Hal ini berakar dari semangat neo-nasionalisme, yaitu ikatan bersama untuk melawan demonisasi masyarakat [Demonisasi berasal dari kata “demon” yang berarti “setan” atau “iblis.” Kata ini digunakan untuk menunjukkan perilaku seseorang yang kerap menganggap orang lain seperti “setan” atau “iblis”. Red] dan kemudian mengidentifikasi mereka sebagai orang luar. Sikap ini memang menolak konsep dasar kebangsaan.
Dan hal ini terjadi pada saat yang paradoks, yaitu di satu sisi masyarakat internasional tidak melakukan apapun, di sisi yang lain pemerintah Myanmar diklaim sebagai pemerintah yang demokratis. Dan ini benar-benar keterlaluan.
Dalam kondisi seperti ini masyarakat internasional perlu melakukan sesuatu dengan sangat segera karena bertanggung jawab atas “banjir” darah orang tak berdosa yang menghadapi segala macam kekejaman, perkosaan dan lain sebagainya.
Sebagian laporan mengatakan, dalam situasi seperti ini perempuan akan menderita dan anak-anak yang akan paling menderita. Masyarakat internasional perlu melakukan sesuatu dengan sangat segera.
Satu hal yang ironis dan juga sangat keterlaluan adalah, diamnya komunitas internasional yang tidak melakukan apa-apa tapi bersamaan diamnya bangsa-bangsa Muslim – kecuali beberapa Negara seperti Iran- di bulan Ramadhan [yang] melihat semuanya itu. Kita belum mendengar pernyataan dari salah satu negara Muslim mengenai pembantaian warga sipil tak berdosa yang notabene adalah Muslim.
Press TV: Kita tahu bahwa minoritas ini telah menderita selama beberapa tahun tetapi mengapa bahwa cerita ini belum mendapatkan liputan media yang cukup di masa lalu?
Shadjareh: Alasan yang paling logis adalah bahwa hal Itu hanya tidak menguntungkan saja untuk media-media besar yang dikuasai Barat, dengan kata lain tidak ekonomis. Sekarang kita melihat bahwa ini bsemacam junta militer fasis yang bergabung dengan demokrat dan Budha untuk pembersihan etnis Muslim Rohingya.
Saya kira sampai batas tertentu, fakta bahwa sanksi yang diangkat begitu cepat, itu adalah semacam penghargaan kepada mereka untuk pembersihan etnis.
Press TV: Seberapa mirip Menurut Anda situasi kaum Muslim di Myanmar adalah bahwa kaum Muslim Bosnia pada tahun 1990an?
Shadjareh: Sangat mirip. Maksud saya, saya terlibat pada saat itu berusaha untuk membantu dan mendukung orang Bosnia di bekas Yugoslavia dan situasi ini sangat banyak hampir identik.
Anda melihat kebangkitan nasionalisme atau super-nasionalisme yang digunakan oleh sebuah negara dan mengorbankan orang yang tidak bersalah sedang dilakukan saat ini. Pembersihan etnis dan segala sesuatu yang sedang dilakukan terhadap mereka saat ini berawal dari klaim tentang status kewarganegaraan masyarakat Muslim Rohingya. Dan itu adalah dasar yang digunakan oleh pemerintah Myanmar. Hal ini hampir bisa dibilang bahwa Bosnia dan Rohingya adalah identik.
[sumber;pelitaonline.com,hidayatullah.com]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Xpresikan Komentar sobat disini sesuka hati, sesuai dengan Tuntunan Demokrasi dan tanpa menyakiti siapapun yang tak layak disakiti !!!
No Spam
No Life Link
No Sara
No Teror