Jumat, April 06, 2012

Biografi Harry Roesli

Siapa yang tidak kenal dengan sosok Harry Roesli, Sosok seorang Profesor psikologi musik ini sudah jelas bukan sosok musisi yang biasa biasa saja. Beliau memang seorang musisi yang sangat fenomenal, beliau lah yang melahirkan budaya musik kontemporer yang sangat unik dan berbeda. Seorang Doktor musik yang memiliki nama lengkap Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli ini memang dikenal selalu menghasilkan karya-karya yang sanat komunikatif dan juga konsisten menyampaikan pesan pesan kritik sosial dengan sangat lugas juga dibalut dengan kesenian teater dan sangat kreatif dalam penyajian setiap karyanya.Kang Harry , sapaan akrab bagi beliau. Memiliki cirri khas dalam berpenampilan , berkumis, bercambang, berjanggut lebat, berambut gondrong dan selalu berpakaian serba hitam. Beliau adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Yang dilahirkan di Bandung, 10 September 1951, ayahnya bernama Mayjen (pur) Roeshan Roesli. Dan beliau merupakan cucu dari seorang pujanngga besar Marah Roesli. Beliau memiliki seorang Istri bernama Kania Perdani Handiman dan dua anak kembar yang bernama Layala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna Parana.
Beliau meninggal dunia dalam usia 53 tahun setelah sempat menjalani perawatan di rumah sakit sejak Jumat 3 Desember 2004. Kang Harry menderita serangan jantung jugafiketahui memeiliki riwayat hipertensi dan diabetes. Jenazah disemayamkan di rumah kakaknya,Ratwini Soemarso, Jl Besuki 10 Menteng, Jakarta Pusat dan kemudian dimakamkan pada tanggal 12 Desember 2004 di pemakaman keluarga di Ciomas, Bogor, Jabar.
Semasa Hidupnya beliau memang sibuk dalam aktivitas seni dan juga aktivitas sosial. Sejak tahun 1970 namanya sudah dikenal bersama kelompok musik nya yang diberi nama Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin, Indra Rivai dan Iwan A Rachman. Namun lima tahun setelah terbentuk kelompok musik itu pun bubar. Disamping sibuk dalam bermain musik beliau juga mendirikan sebuah kelompok teater yang beliau beri nama kelompok teater Ken Arok pada tahun 1973. Bersama kelompok teater Ken Arok nya, beliau sempat melakukan beberapa kali pementasan, salah satunya adalah pertunjukan Opera Ken Arok di TIM Jakarta pada Agustus 1975, namun kelompok teater ini pun bubar dikarenakan beliau mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie en Maatschapelijk Werk (CRM), untukmenimba ilmu ke Rotterdam Conservatorium, Belanda.

Beliau mendapatkan gelar Doktornya pada tahun 1981. Setelah kembali ke tanah air beliaupun kembali aktif bermusik juga kembali pada dunia teater. Disamping itu beliau juga aktif mengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Pasundan Bandung. Beliau kerap membuat aransemen musik untuk teater, sinetron dan film, di antaranya untuk kelompok Teater Mandiri dan Teater Koma. Beliau juga sering tampil menjadi pembicara dalam seminar-seminar di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri, serta turut aktif menulis di berbagai media, salah satunya sebagai kolumnis Kompas Minggu.

Selain itu juga beliau membina para seniman jalanan dan kaum pemulung di Bandung lewat Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang didirikannya. Rumahnya yang bertempat di Jl WR Supratman 57 Bandung dijadikan markas DKSB. Rumah inilah yang pada tahun 1998 menjadi pusat aktivitas relawan Suara Ibu Peduli di Bandung. Rumah ini selalu ramai dengan kegiatan para seniman jalanan dan sekaligus berfungsi sebagai tempat berdiskusi para aktivis mahasiswa. Dimana kerap lahir karya-karya yang sarat dengan kritik kritik sosial dan bahkan bernuansa pemberontakan terhadap kekuasaan Orde Baru. Bersama DKSB dan Komite Mahasiswa Unpar, beliau pernah mementaskan pemutaran perdana film dokumenter Tragedi Trisakti dan panggung seni dalam acara “Gelora Reformasi” di Universitas Parahyangan. Dalam acara ini kembali dinyanyikan sebuah lagu yang berjudul Jangan Menangis Indonesia dari album LTO (Lima Tahun Oposisi),yang dirilis oleh Musica Studio, pada tahun 1978.
Galery Berita Unik Dan Menarik
Galery Berita unik dan Menarik Updated at: 4/06/2012 05:21:00 PM

Biografi Abah Us-us

Pada tanggal 8 Mei silam, kita membaca berita, seorabng komedian terkenal kita Abah Us Us, menutup mata. Kini ia telah istirahat abadi di pemakaman keluarga di Ujung Berung, Bandung. Dia atasnya masih penuh dengan krans. Sebuah prosesi yang sederhanay telah dilalui oleh beliau.
Kematian, adalah sesuatu kepastian. dan saat itulah kita mengenang jasa-jasa baik sang mayat. Baik dikenang, buruk dilupa. Doa dijunjung amal disebut. Selalu begitu.
Seorang seniman seperti Abah Us Us, sepanjang hidupnya hanya untuk menghibur orang lain. Kita tak tau ketika seorang artis bersedih, siapakah yang menghiburnya.
Yang pasti ketika sang bintang berpulang, kita menghormatinya. Kekhusyu'an itu tercermin dari tertibnya kita berdoa.
Dan lihatlah dalam film-film, setiasp ada upacara pemakaman, semua begitu tertib, begitu khidmat dan agung. Atau dalam dunia nyata, kenanglah prosesi pemakaman Lady Di. Begitu indah, tertib, aroma kesedihan menyembul dari raut wajah pelayat. Semua rela berdiri memberi penghormatan terakhirnya. , begitu pula ketika prosesi pemakaman sang raja pop Michael Jackson berlangsung. Kata-kata perpisahan dari semua sahabatnya, terutama anak-anak almarhum, membuat kita menguras air mata.
Tapi kenapa, hal itu tak pernah terekam dalam prosesi pemakaman bintang-bintang besar Indonesia. Ketika pemakaman Benyamin S, Dono, Kasino, DOdo Zakaria, bahkan Chrisye, semua prosesi berjalan kehilangan kekhidmatannya.
Kalau saja rekaman pemakaman itu bisa disiarkan lagi, bagaimana para handaitaulan dan kerabat tak memberi tempat yang nyaman untuk keluarga. Mereka semua bahwa terekam kamera sedang asyik ngobrol dan terkekeh-kekeh. Bahkan, para pengusung jenazah Chisye hampir tergelincir karena sulit menapak diantara kerumunan umat. Hilang khusuk.
Seharusnyalah, memberi penghargaan tak hanya sekadar mengantar artis tersebut dengat baik, tapi jauh dari itu, kita bisa membuka karir sang bintang, mempelajari sepak terjangnya, dan kebaikannya yang lain.
Kita jangan hanya mengingat peniti besar yang di selempangkan oleh Abah Us Us dallam setiap penampilannya, tapi kita juga harus membaca ceritanya, sekitar dua pekan sebelum dia pergi, di sebuah televisi, si Abah berkisah, "Hidup mah harus tetep semangat, biar Abah 71 tahun, tapi tetap semangat. Ya ternyata semangat adalah sebuah aba-aba untuk kita selalu berusaha menjadi yang terbaik.
Semoga jika nanti ada artis yang harus pergi, kita mengantarkannya dalam cita rasa yang takzim.
Selain dikenal dengan gaya humor yang khas, sosok pentolan grup komedi D'Bodor, Abah Us Us, juga dikenal suka membaca buku-buku seputar dunia komedi.
"Pengetahuan dia soal komedi sangat luas. Dia sangat suka baca buku-buku soal komedi," kata salah seorang personel grup komedi D'Kabayan, Aom Kusman, saat dihubungi detikbandung via telepon, Sabtu (8/5/2010).
Bagi Aom, Abah Us Us bukan salah seorang inspirator dirinya dalam dunia komedi. Diakuinya Abah Us Us terbilang fenomenal di era 60an. "Dia Jerry Lewis-nya Indonesia," kata Aom.
Abah Us Us menghembuskan nafas terakhirnya, Sabtu (8/5/2010), pukul 06.55 WIB akibat penyakit jantung. Jenazah rencananya akan dimakamkan di pemakaman keluarga di Ujung Berung, setelah disemayamkan di Kota Wisata.(ahy/ern)
Sebelumnya rekan Abah Us-Us dalam D'Bodors Yan Asmi telah lebih dulu menghadap Illahi pada 29 Maret 2010.
Prosesi pemakaman komedian senior Abah Us Us (71) di tempat pemakaman keluarga, Jalan Cirengot, Kelurahan Sukamulya, Kecamatan Cinambo, diiringi hujan gerimis. Ratusan warga pun ikut mengantar kepergian budayawan sunda tersebut ke tempat peristirahatan terakhirnya.
Kang Kusye, rekan Abah Us Us di D'Bodor terlihat memapah istri Abah Us Us, R Iyus Rohana (67), yang tak bisa menahan duka. Tampak anak pertama Abah Us Us, Erie Djaka (39), membantu proses pemakaman yang mulai berlangsung saat adzan Ashar berkumandang. Bahkan Kang Ibing, masuk ke dalam liang lahat untuk membantu memasukan jenazah.
Tampak beberapa rekan almarhum seperti Aom Kusman, Rudi Djamil, dan Sup Yusuf hadir. "Jangan menangis, jangan menangis," ujar Kang Ibing meminta semua orang untuk tak menangis.
Raden Mohammad Yusuf atau dikenal dengan nama Abah Us Us merupakan perokok dan penggemar berat kopi. Meski sakit, ia tidak pernah mengeluh kepada keluarga.
"Abah sehat walafiat meskipun perokok berat, pengopi berat," kata putra sulung Abah Us Us, Erie Djaka saat ditemui di pemakaman, Sabtu (8/5/2010).
Dua malam terakhir, jelas Erie, meski sudah terlihat sesak nafas, Abah Us Us masih saja merokok dan minum kopi. "Bedanya baru seperempat, setengah sudah dibuang nggak habis," katanya.
Bulan Oktober 2009, keluarga sempat memeriksakan kesehatan komedian yang dikenal dengan peniti besarnya. Hasilnya terdapat flek di sekitar paru-paru.
"Baru kemarin masuk rumah sakit, jantungnya sudah membesar, bengkak," jelas Erie.
Senada dengan Erie, anak kedua Ira Kania Defira menuturkan sosok Abah Us Us di matanya terlihat tegar menghadapi penyakit yang dideritanya. "Di depan
anak-anaknya dia tidak pernah mengeluh sakit," katanya.
Pada 1970-an, Raden Achmad Yusuf Wargapranata alias Abah Us Us, bersama Rudy Djamil dan Yus Yusuf mendirikan D'Bodor. Pada 13 Juni mendatang, Abah Us Us tepat berusia 71 tahun. Ia lahir di Bandung.
Sepanjang hidupnya komedian yang dikenal dengan ikon peniti besarnya itu, pernah membintangi sejumlah film di antaranya Darah Tinggi (1960), Benyamin Biang Kerok (1972), Bing Slamet Koboi Cengeng (1974), Permata Bunda (1974), Ali Baba (1974), Keluarga Sinting (1975), Maju Kena Mundur Kena (1983), Pokoknya Beres (1983), Tahu Diri Dong (1984), dan Jual Tampang (1990).
Galery Berita Unik Dan Menarik
Galery Berita unik dan Menarik Updated at: 4/06/2012 05:14:00 PM

Biografi Kang Ibing

Tidak semua orang mengenal Rd. Aang Kusmayatna Kusumadinata, tapi bila menyebutkan nama Kang Ibing pasti hampir rata-rata orang Jawa Barat mengenalnya. Padahal itulah nama asli Kang Ibing. Sekedar Nostalgia dan mengenal salah satu tokoh Jawa Barat.. yuk kita baca Sekilas Profil Kang Ibing yang lucu dan humoris ini..
Si Kabayan adalah Tokoh Legendaris Cerita Rakyat Pasundan yang terkenal lugu tetapi cerdik. Cerita Rakyat Pasundan yang diangkat ke layar lebar dengan berbagai versi ini untuk pertama kalinya diperankan oleh Kang Ibing yang punya nama lengkap Rd. Aang Kusmayatna Kusumadinata.
Pria kelahiran Sumedang bulan Juli 1946 yang beristerikan Ny. Nieke ini telah dikarunia 3 (tiga) orang anak masing-masing Kusmadika, Kusmandana dan Diane.
Kariernya di dunia seni berjalan mulus. Kang Ibing sendiri tidak pernah mimpi untuk jadi orang terkenal apalagi bintang film.

Kariernya dimulai ketika menjadi Pembawa Acara Obrolan Rineh dalam arti santai secara kocak dan sarat kritik di Radio Mara Bandung. Gaya bicaranya yang berintonasi khas Sunda melekat dalam Profil Kang Ibing yang merupakan nama bekennya. Nama asli yang konon masih teureuh menak Sunda yakni Rd. Aang Kusmayatna Kusumadinata seperti hilang diganti Kang Ibing yang identik dengan sosok Si Kabayan yang lugu tetapi cerdik.
Ketika masih duduk di Fakultas Sastera Unpad Jurusan Sastra Rusia, Kang Ibing pernah menjabat sebagai Ketua Kesenian Daya Mahasiswa Sunda (DAMAS), Penasihat Departemen Kesenian Unpad dan pernah juga menjadi Asisten Dosen di Fakultas Sastera Unpad.

Pada tahun 1970 bersama-sama dengan Aom Kusman dan Suryana Fatah membentuk Group Lawak De Kabayan. Pada tahun 1975 untuk pertama kalinya main film Si Kabayan arahan Sutradara Tutty Suprapto. Pilihan Tuty jatuh ke Ibing konon tertarik saat mendengarkan gaya humornya di Radio Mara tersebut.
Selain main film, Ibing juga sudah memerankan Bintang Iklan dari beberapa produk. Saat ini Kang Ibing lebih dikenal sebagai dai yang lumayan padat juga jadwalnya.
Putera pasangan Rd. Suyatna Kusumahdinata dan Rd. Kusdiyah ini juga pernah menjadi Direktur salah satu bioskop di Kota Bandung.

Senang Memelihara Domba
Tempat tinggalnya di Kompleks Pandan Wangi Ciwastra Bandung dilengkapi dengan Kandang Domba. Karena memelihara domba adalah salah satu kegemarannya. Untuk hobinya yang satu ini kang Ibing tidak segan-segan mengambil rumput sendiri di pematang sawah yang mengelilingi sekitar Komplek Perumahannya.
Untuk mencari rumahnya tidaklah sulit. Tukang Becak yang mangkal di sekitar Komplek Perumahan tempat tinggalnya apabila ditanya, akan menunjukkan bahwa rumah Kang Ibing itu di depan rumahnya ada kandang domba.

Mengenai kegiatannya saat ini sebagai “dai” yang jadwalnya cukup padat untuk memberikan siraman rohani baik di mesjid yang ada di lingkungan pedesaan, kota, perkantoran maupun kampus di wilayah Indonesia sampai ke Timor-Timur bahkan ke Australia. Tema dakwahnya mudah dicerna, karena menyangkut masalah-masalah keseharian serta dibawakan dengan gaya humor yang segar.
Ketika ditanya mengenai kariernya yang beragam serta berhasilnya didalam menyelesaikan Sekolah, Kang Ibing menyatakan bahwa semua itu tidak lepas dari doa yang tulus dari kedua orang tuanya. Ungkapan “Indung Tunggul Rahayu, Bapa Tangkal Darajat” senantiasa melekat di hatinya. Dan itu dijadikan pedoman hidup keluarganya serta tidak segan-segan memasang semboyan itu di ruangan tengah keluarganya.

Generasi muda Sunda sekarang menurut Kang Ibing, pada umumnya sudah kurang mengenal jati diri Ki Sunda. Basa teh Ciciren Bangsa dalam arti Bahasa itu menunjukkan Bangsa. Refleksinya terlihat dari banyaknya anak muda Tatar Sunda dewasa ini yang malu berbahasa Sunda. Hal ini disebabkan tidak adanya infilterisaasi budaya luar yang masuk, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran nilai tersebut.
Pendapatnya mengenai manusia Sunda yang ” Nyunda” adalah yang mengetahui sekaligus menghargai Kebudayaan Sunda serta “Sarakannana” dalam arti tempatnya.. Sehingga tumbuh rasa kasundaan bagi orang Sunda.
Demikian Inohong Sunda Kang Ibing yang lekat dengan sosok Tokoh Legendaris Cerita Rakyat Pasundan Si Kabayan yang lugu tetapi cerdik.
Galery Berita Unik Dan Menarik
Galery Berita unik dan Menarik Updated at: 4/06/2012 05:03:00 PM

Biografi H Koko koswara sang maestro tatar Sunda

BAGI siapa saja yang menyukai kawih Sunda, dapat dipastikan bakal mengenal atau sekurang-kurangnya mendengar nama: Mang Koko (alm). Seorang guru, santri, sastrawan, penulis, jurnalis, organisator, pencipta lagu, pembaharu karawitan Sunda, dan patut menjadi suri tauladan bagi praktisi seni di zaman sekarang. Mang Koko telah sukses mencipta kawih untuk anak-anak sampai tingkat dewasa, sehingga lebih dikenal sebagai maestro karawitan, dan karya-karyanya berupa kawih, tembang (pupuh rancag), sekar tandak, gending karesmen, dll., abadi sampai kiwari. Karya-karyanya masih bergema di panggung-panggung, radio, dan televisi.

Nama aslinya Haji Koko Koswara (lahir di Indihyang, Tasikmalaya, 10 April 1917 dan wafat 4 Oktober 1985). Mang Koko adalah putra tunggal dari pasangan Siti Hasanah dan Muhammad Ibrahim Sumarta, yang bergaris keturunan Sultan Banten/Sultan Hasanuddin. Namanya begitu wangi, semerbak di Indihyang dan mengaharumkan nama Bandung. Pada bulan Februari 2004, Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya pun menggelar sebuah acara pangéling-éling atas jasa Mang Koko, dengan tajuk “Nguniang ti Indihiang, Padungdung Nanjung di Bandung”. Dari acara tersebut, jelas bahwa Mang Koko menjadi kebanggaan masyarakat Tasikmalaya, sebagai kota kelahirannya dan tempat mengawali penitian karirnya yang gemilang.

Ekspresi dari penghargaan warga Tasikmalaya terhadap Mang Koko, dibuktikan dengan dibuatnya Jalan Mang Koko, yang diresmikan pada 17 Oktober 2005. Mang Koko juga sangat mencintai Indihiyang dan Kota Bandung. Kawih sanggiannya yang berjudul “Bandung”, merupakan salahsatu bukti kecintaan dan perhatiannya terhadap kota Bandung.

Mang Koko memulai kariernya dalam musik dengan mendirikan Kanca Indihiang pada tahun 1946. Lagu Kanca Indihiang yang populer di antaranya “Badminton”, “Maén Bal”, “Buruh Leutik”, “Jaman Atum”, dsb. Mang Koko adalah seniman yang selalu menatap jauh ke depan, sehingga baginya re-generasi merupakan garapan yang sangat penting. Sadar akan hal itu, Mang mendirikan perkumpulan-perkumpulan kesenian yang untuk membina anak-anak sampai dewasa dalam berkiprah di dunia karawitan. Sebut saja “Taman Murangkalih”, “Taman Cangkurileung”, “Taman Setiaputra”, “Ganda Mekar”, “Gamelan Mundinglaya”, dan “Taman Bincarung”. Idenya mendirikan organisasi kesenian, ditandai pula oleh terbitnya buku karya Mang Koko, seperti Taman Cangkurileung sebanyak tiga jilid (1954), Ganda Mekar (1956), Taman Bincarung (1958), dsb.

Sebagai seorang organisator, selanjutnya Mang Koko dan kawan-kawan mendirikan Yayasan Cangkurileung pada 6 Maret 1959 yang berpusat di Bandung. Sedangkan cabang-cabangnya menyebar di hampir seluruh Jawa Barat. Kegiatannya sistematis dan kostinten, seperti mengisi acara kawih di RRI Bandung setiap hari Minggu, mengadakan kursus karawitan untuk para guru, menerbitkan Majalah Swara Cangkurileung (1974-sekarang), dsb. Sampai sekarang, kegiatan Yayasan Cangkurileung masih berlangsung, diteruskan oleh dua dari delapan orang putranya, yaitu Tatang Benyamin Koswara dan Ida Rosida.

Mang Koko juga merupakan afresiator sastra Sunda yang sangat peka. Ia melahirkan banyak sanggian kawih yang rumpakanya berasal dari sajak-sajak karya para sastrawan. Mang Koko bekerja keras dan sangat teliti dalam memahami atau menghayati sajak yang akan digubahnya mejadi kawih. Terkadang Mang Koko menanyakan langsung kepada penulisnya, baik mengenai bahasa maupun muatan isinya. Mulai dari kawih “Talatah” (karya Siti Armilah atau SAR), “Bulan Dagoan” (karya R Ading Affandie atau RAF), dan “Samoja” (karya Wahyu Wibisana). Tiga kawih tersebut lahir pada dekade 50-an.
Selanjutnya Mang Koko semakin banyak nyanggi kawih dari sajak-sajak karya sastrawan lainnya, seperti “Di Langit Bandung Bulan keur Mayung” karya Dedy Windyagiri, “Bulan Bandung Panineungan” karya Wahyu Wibisana, “Kudu ka Saha” karya Winarya Artadianta, “Purnama” karya Agus Sur, “Wengi Énjing Tepang Deui” karya Tatang Sastrawiria, dsb.

Mang Koko adalah lulusan Mulo Pasundan (1937). Ia pernah bekerja di Bale Pamulang Pasundan, Harian Cahaya, Harian Suara Merdeka, Jawatan Penerangan Propinsi Jabar, guru di Konservatori Karawitan (KOKAR) Bandung (Sekarang SMKN 10 Bandung) pada tahun 1961, yang kemudian menjadi Direktur KOKAR Bandung (1966 1972), dan juga pernah menjadi dosen luar biasa di ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) Bandung (Sekarang STSI Bandung).
Mang Koko juga dikenal sebagai sosok yang nyantri. Dulu, waktu masih tinggal di jalan Jurang, Mang Koko hampir setiap Subuh mengumandangkan adzan. Suaranya melengking merdu, membangunkan orang-orang di sekitarnya. Mang Koko bisa mengumandangkan adzan dengan sorog, pélog atau madenda. Kabarnya, jika mendengar adzan Mang Koko, orang yang tidak berniat sholat di Masjid pun segera bergegas menuju masjid. Mirip dengan kisah Bilal bin Rabbah, sahabat Rosululloh SAW, yang memiliki suara melengking merdu setiap beliau mengumandangkan adzan.

Berdasar prestasinya yang gemilang, Mang Koko pun pernah menerima berbagai piagam penghargaan dari pemerintah, lembaga dan organisasi, termasuk piala tertinggi dari pemerintah pusat/ Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, dalam katagori pembaharu bidang seni karawitan. Pada tahun 2004, Yayasan Cangkurileung juga menerima Hadiah Sastra Rancagé 2004 (untuk bidang jasa), dan menerima Anugrah Jabar Music Award 2005 dari Sekolah Tinggi Musik Bandung dan Disbudpar Jabar, untuk kategori seniman musik yang sudah wafat.
Beberapa Kawih Karya Mang Koko, yang diambil dari Sajak Sunda :
1. Angin Burit (Winarya Artadinata)
2. Angin Priangan (Wahyu Wibisana)
3. Asih Abadi (Dédi Windiagiri)
4. Bulan Bandung Panineungan (Wahyu Wibisana)
5. Bulan Langlayangan Peuting (Wahyu Wibisana)
6. Bungur Mumunggang (Wahyu Wibisana)
7. Di Langit Bandung Bulan keur Mayung (Dédi Windiagiri)
8. Girimis Kasorénakeun (Dédi Windiagiri)
9. Hareupeun Kaca (Winarya Artadinata)
10. Hariring Nu Kungsi Nyanding (Winarya Artadinata)
11. Hirup (Nano S)
12. Imut Malati (Wahyu Wibisana)
13. Jalir Jangji (SAR)
14. Kalangkang di Cikamiri (Wahyu Wibisana)
15. Karatagan Pahlawan (Mang Koko)
16. Kasenian (Mang Koko)
17. Kembang Balébat (Wahyu Wibisana)
18. Kembang Impian (Dédi Windiagiri)
19. Kembang Tanjung Panineungan (Wahyu Wibisana)
20. Kudu ka Saha (Winarta Artadinata)
21. Lalaki Padjadjaran (Mang Koko)
22. Longkéwang (Dédi Windiagiri)
23. Malati di Gunung Guntur (Wahyu Wibisana)
24. Peuting jeung Pangharepan (RAF)
25. Purnama (Agus Sur)
26. Rayagung ka Balé Nyungcung (Dédi Windiagiri)
27. Reumis Beureum (Wahyu Wibisana)
28. Sagagang kembang Ros (Winarya Artadinata)
29. Salempay Sutra (Winarya Artadinata)
30. Sariak Layung (Dédi Windiagiri)
31. Sulaya Janji (Winarya Artadinata)
32. Tanjung (Wahyu Wibisana)
33. Tina Jandéla (Dédi Windiagiri)
34. Wengi Énjing Tepang Deui (Tatang Sastrawiria)


Karya cipta kakawihan yang ia buat dikumpulkan dalam berbagai buku, baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berupa naskah-naskah, diantaranya :

1. “Resep Mamaos” (Ganaco, 1948),
2. “Cangkurileung” (3 jilid/MB, 1952),
3. “Ganda Mekar” (Tarate, 1970),
4. “Bincarung” (Tarate, 1970),
5. “Pangajaran Kacapi” (Balebat, 1973),
6. “Seni Swara Sunda/Pupuh 17″ (Mitra Buana, 1984),
7. “Sekar Mayang” (Mitra Buana, 1984),
8. “Layeutan Swara” (YCP, 1984),
9. “Bentang Sulintang/Lagu-lagu Perjuangan”; dan sebagainya.


Karya-karyanya bukan hanya dalam bidang kawih, tapi juga dalam bidang seni drama dan gending karesmen. Dalam hal ini tercatat misalnya :

1. “Gondang Pangwangunan”,
2. “Bapa Satar”,
3. “Aduh Asih”,
4. “Samudra”,
5. “Gondang Samagaha”,
6. “Berekat Katitih Mahal”,
7. “Sekar Catur”,
8. “Sempal Guyon”,
9. “Saha?”,
10. “Ngatrok”,
11. “Kareta Api”,
12. “Istri Tampikan”,
13. “Si Kabayan”,
14. “Si Kabayan jeung Raja Jimbul”,
15. “Aki-Nini Balangantrang”,
16. “Pangeran Jayakarta”,
17. “Nyai Dasimah”.
Galery Berita Unik Dan Menarik
Galery Berita unik dan Menarik Updated at: 4/06/2012 04:41:00 PM

Seniman dan Budayawan Kehilangan Nano S.

BANDUNG, (PRLM).- Kepergian Nano Suratno atau Kang Nano S. (66), Rabu (29/9) malam sekira pukul 23.15 WIB saat menjalani perawatan di ruang Paviliun ICU RS Immanuel, meninggalkan kesan sangat mendalam bukan hanya bagi para seniman maupun budayawan di Kota Bandung maupun Jawa Barat. Keluarga besar SMKN 10 (sebelumnya Kokar kemudian menjadi )SMKI, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, serta Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, juga merasakan kehilangan yang teramat sangat atas kepergian Maestro Seni Tembang dan Karawitan Sunda tersebut.

Sosok Kang Nano selama ini oleh masyarakat luas hanya sebagai seniman pencipta lagu dan seni karawitan. Namun bagi kami dilingkungan SMKN 10, sosok Kang Nano lebih dari seorang guru ataupun pendidik yang memberikan ilmu pengetahuan seputar kesenian Sunda. Tapi lebih dari itu, Kang Nano juga memberikan suritauladan tentang bagaimana menjadi seorang seniman seutuhnya yang tidak bergantung pada pemerintah,” ujar Mas Nana Munajat, salah seorang staf pengajar di SMKN 10 Bandung yang dalam beberapa garapan karya panggung Kang Nano turut membantu.

Dikatakan Mas Nana, salah satu petuah yang sering diingatkan kepada anak didiknya adalah sebagai seniman harus memiliki ciri tapi jangan melupakan seni tradisi titincakan. Hal lain yang juga sering diingatkan, sebagai seniman (tradisi) jangan hanya berharap dari pemerintah, apalagi jadi seniman proposal yang berharap bantuan.

Karena kalau menunggu pemerintah apalagi proposal mau sampai kapan menjadi seniman dan menghasilkan karya. Kalaupun mendapat bantuan dari pemerintah, karya yang dihasilkapun tidak akan murni karya sendiri karena pasti ada keinginan dari si pemberi biaya,” ujar Mas Nana.

Sementara itu Adjie Esa Poetra, yang sempat bertemu Kang Nano seusai pulang mengikuti International Gamelan Festival Amsterdam (IFGA) 2010, bukan hanya kehilangan teman berbagai ilmu dan pengalaman, juga kehilangan seorang guru dan panutan. “Karenanya, saya berharap ratusan karya Kang Nano dapat dilestarikan, bahkan saya akan berupaya untuk mewacanakan pembuatan museum karya Kang Nano. Sayang kalau sampai hilang dan dilupakan,” ujar Adjie Esa Poetra.

Sejumlah karyawan Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, menilai Kang Nano saat menjadi Kepala Balai Pengelolaan Taman Budaya (2000, saat BPTB dibawah Kanwil Depdikbud) sebagai sosok pemimpin yang konsen terhadap apa yang sudah di programkan dan harus dilaksanakan. “Sebagai cikal bakal taman budaya di tanah air, Kang Nano mampu menjadikan Taman Budaya Jawa Barat turut andil dalam melestarikan seni budaya tradisi serta memperkaya khasanah budaya tanah air,” ujar Gunawan, salah seorang staf di BPTB Jabar.

Kepergian Kang Nano juga dirasakan Kang Teteng salah seorang tukang becak yang tidak jauh dari rumah Kang Nano di Jalan Moh Toha no. 352 Bandung. “Jigana kapayun mah moal aya deui naros sabari ngelingan dibarengan ku seuri jeung dariana,” ujar Kang Teteng, mengungkapkan keramahan Kang Nano meski sudah menjadi seorang seniman besar tapi tetap menyapa orang kecil seperti dirinya.
Galery Berita Unik Dan Menarik
Galery Berita unik dan Menarik Updated at: 4/06/2012 04:23:00 PM

Biografi Darso The king of pop Sunda

Selama lebih dari 45 tahun, Hendarso setia membawakan alunan musik calung, alat musik dari bambu, yang kemudian dipadukannya dengan dangdut dan pop. Lagu-lagunya berlirik bahasa Sunda. Sebagian orang menyebut dia sebagai Michael Darso Si Raja Pop Sunda, mengacu pada raja pop dunia Michael Jackson. Ditemui di rumahnya di Kampung Cirateun, Lembang, Bandung Barat, Darso, panggilannya, bercerita mengenai albumnya yang sudah sekitar 300 judul. Albumnya itu ada yang direkam di studio, ada pula yang direkam sewaktu dia bernyanyi di panggung.

Oleh Cornelius Helmy
Selama lebih dari 45 tahun, Hendarso setia membawakan alunan musik calung, alat musik dari bambu, yang kemudian dipadukannya dengan dangdut dan pop. Lagu-lagunya berlirik bahasa Sunda. Sebagian orang menyebut dia sebagai Michael Darso Si Raja Pop Sunda, mengacu pada raja pop dunia Michael Jackson.

Ditemui di rumahnya di Kampung Cirateun, Lembang, Bandung Barat, Darso, panggilannya, bercerita mengenai albumnya yang sudah sekitar 300 judul. Albumnya itu ada yang direkam di studio, ada pula yang direkam sewaktu dia bernyanyi di panggung.

”Katanya, semuanya (album Darso) laku. Saya tak tahu persis karena tidak terlalu peduli hal itu,” ujar Darso, yang saat itu baru pulang setelah tampil di daerah Banjaran, Kabupaten Bandung.

Meski usianya tak lagi muda, Darso bisa dikatakan tak pernah menolak permintaan untuk pentas. Dia menganggap permintaan masyarakat itu sebagai rezeki yang tidak boleh ditolak. Sampai sekarang pun dia masih laris ditanggap di berbagai daerah di wilayah Jawa Barat, antara empat dan lima kali dalam seminggu.

Untuk memenuhi permintaan naik panggung itu, Darso mengaku lelah secara fisik. Tetapi, rasa lelah itu seakan hilang ketika dia melihat penonton senang dengan aksi panggungnya yang bak ”cacing kepanasan”.

Rasa puas dan senang itu pula yang membuat Darso rela tidak dibayar jika permintaan naik panggung itu datang dari orang tak mampu. Asal jujur, ia tak menargetkan bayaran. Ia pernah manggung di rumah seorang penjual es di Kabupaten Bandung.

”Bagi saya, doa orang banyak itu lebih berharga ketimbang uang berlimpah. Rame tah imah maranehna gara-gara urang datang,” ujarnya.

tak jarang kebaikan Darso disalahgunakan. Dia pernah ditipu pengundang yang mengaku tidak mampu, tetapi belakangan diketahui ternyata anggota DPRD. ”Saya tidak marah, tetapi sangat malu kepada teman satu grup,” ucapnya.

Pemain bas
Kiprah Darso dimulai pada tahun 1962 sebagai pemain bas grup Nada Karya dan Nada Kencana. Ia sempat bergabung dengan band milik Pusat Persenjataan Kavaleri Bandung. Namun, kariernya di dunia pop terhenti. Ia terkena imbas peristiwa G30S/PKI.

Tahun 1968, saat suasana politik membaik, ia kembali tampil dengan rasa berbeda. Kali ini ia bersama sang kakak, Uko Hendarso. Alat musik calung digunakan sebagai instrumen utama. Ia menggunakan calung sebagai pengiring lagu sambil menyusuri jalan-jalan Kota Bandung. Salah satu lagu yang diminati warga kala itu adalah ”Kiamat”.

”Dulu, tak ada yang menggunakan calung sebagai pengiring lagu. Calung hanya didengarkan bunyinya, tanpa lagu,” ujarnya.

Tampilan musik calung Darso bersama grup Calung Uko Hendarto menarik minat pemerhati musik S Hidayat. Dia lalu membawa Darso tampil di Radio Republik Indonesia (RRI). Bersama grup Baskara Saba Desa, suara Darso didengar banyak orang.

”Di RRI saya mulai rekaman yang pertama. Judulnya Volume 1 bersama grup Layung Sari iringan Ali Wijaya. Lagunya karya Koko Koswara dan Uko Hendarto,” ujarnya.

Sampai tahun 1978, ia punya grup sendiri, Calung Darso. Di bawah bendera Asmara Record, ia merekam suara di atas pita kaset. Saking tenarnya, Darso bisa merekam musik calung dalam empat-lima kaset per tahun. Lirik lagunya bertema keseharian, kritik sosial, dan tembang cinta. Beberapa yang populer ”Kembang Tanjung”, ”Cangkurileung”, dan ”Panineungan”.

Masuk periode tahun 1990 namanya semakin berkibar setelah TVRI pun menampilkannya. Darso lalu menyertakan instrumen baru, seperti organ, terompet, dan dangdut. Tujuannya menyenangkan hati penonton.

Karyanya kemudian menjadi ”lagu wajib” pop Sunda. Lagu seperti ”Randa Geulis”, ”Maribaya”, ”Amparan Sajadah”, dan ”Kabogoh Jauh” sering dilantunkan penyanyi masa kini.

”Saya tak mengubah musik calung, tetapi menyesuaikan dengan keinginan masyarakat tanpa menghilangkan unsur tradisional. Masyarakat senang, kesenian tradisi terjaga,” ucapnya.
Perhatian pemerintah

Di panggung, Darso tampil beda, seperti memakai setelan jas. Bila mengikuti pakem, pagelaran calung harus menggunakan baju pangsi dan celana kampret. Namun, ia tak peduli. Dia tak pernah mengubah penampilannya.

Ia bahkan pernah memadupadankan baju dan celana hitam yang dilukis tokoh kartun Mickey Mouse dengan sarung. Pada kesempatan lain, ia tampil percaya diri dengan jas bermotif tribal dan membuka panggung sambil menunggang kuda.

Penampilan fenomenalnya adalah saat dia muncul mirip Michael Jackson dengan rambut gondrong, kacamata hitam, dan bertopi. Ia juga kerap menjulurkan lidah kala menyanyi. Banyak orang berpendapat, gaya Darso itu ”kampungan”. Tetapi, gaya itulah yang mengangkat namanya.

”Ah teuing mah. Eta mah barudak nu ngomong. Urang ngarasa ngeunah we siga kitu mah (Ah tak tahu. Itu penonton yang bilang. Saya hanya merasa nyaman dandan seperti itu),” ujarnya.

Meski namanya relatif populer di kalangan masyarakat Jabar, Darso tak mau berubah. Ia ingin selalu dekat dengan masyarakat. Itu dibuktikan saat dia membantu menjajakan buah di Pasar Baru hingga membantu penjaja jagung di kawasan Pasteur.

Darso tetaplah pribadi yang tak suka formalitas. Ia tak mau dikawal dan selalu melayani permintaan foto penggemarnya. Sikap rendah hatinya itu membuat dia juga disebut Pak Haji meski Darso belum menunaikan ibadah haji.

”Nyawa aing siganamah tereh beak lamun difotoan wae. Tapi sakali deu urang mah resep mun ningali nu lain senang (Nyawa saya cepat habis kalau difoto terus.... Tetapi, sekali lagi, saya ikut bahagia kalau melihat orang lain senang),” ujarnya.

Di balik gaya yang nyeleneh, Darso tetap menyimpan harapan. Salah satunya, ia prihatin dengan perhatian pemerintah terhadap musik tradisional. Pemerintah hanya bicara soal melestarikan kesenian daerah, tetapi tak banyak hal yang dilakukan untuk mewujudkannya.


Darso juga berharap seniman calung atau pop Sunda yang berusia muda tak berhenti hanya meniru gayanya. Sebaiknya mereka juga bisa menemukan jati diri dan mensyukuri apa yang telah didapatkan. Dia tetap percaya, bila kita melakukan pekerjaan itu dengan hati, termasuk menyanyi, pasti akan menuai sukses.

”Kata orang, suara saya bagus dan harus ditiru. Tetapi, semua ini bukan milik saya, melainkan milik Tuhan. Kalau mau, mungkin sekarang suara ini bisa dibuat-Nya rusak,” kata Darso mengingatkan.
Galery Berita Unik Dan Menarik
Galery Berita unik dan Menarik Updated at: 4/06/2012 04:14:00 PM