Minggu, Desember 30, 2012

Jokowi-Ahok, Selebriti Politik 2012


SOSOKNYA ringkih mirip Panglima Besar Soedirman. Penampilannya juga bersahaja—acap kali norak—jauh dari kesan perlente khas birokrat dan “raja” daerah. Dialah Joko Widodo atau akrab di telinga masyarakat sebagai Jokowi.

Mantan Wali Kota Solo itu menjadi selebriti dadakan. Namanya beken melebihi artis papan atas sejak didapuk PDI Perjuangan untuk maju sebagai calon gubernur Ibu Kota bersama politikus Golkar yang berpindah ke Partai Gerindra, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

19 Maret 2012 keduanya resmi didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta periode 2012–2017. Janji-janji perubahan pun berkumandang. Tertuang lengkap dalam konsep ‘Jakarta Baru’.

Merevitalisasi permukiman kumuh dan membangun superblok untuk masyarakat kelas menengah ke bawah (solusi kependudukan), membangun folder untuk menangkap dan menampung air hujan (penanganan banjir), dan mengganti sebagian besar Bus TranJakarta menjadi Railbus sehingga kapasitas mengangkut penumpang jauh lebih besar (untuk mengurangi kemacetan). Demikian program pokok keduanya dalam mengurai benang kusut Jakarta.

11 Juli kemudian, janji-janji ini diuji dalam pesta demokrasi Ibu Kota. Hasilnya, publik berharap banyak pada pasangan Jokowi-Ahok, sebagian lagi masih setia pada calon petahanan Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli. Jokowi dijagokan oleh 42,60 persen pemilih atau sejumlah 1.847.157 warga, sementara Foke hanya dapat mengumpulkan 1.476.648 suara atau sebesar 34,05 persen pemilih.

Dua pasangan ini maju ke putaran kedua pada 20 September 2012. Lagi-lagi Jokowi-Ahok unggul. Jokowi meraup 53 lebih persen suara. Foke tumbang dengan hanya memperoleh 46 persen lebih suara. “Ini kemenangan rakyat,” ujar Gubernur jangkung ini saat hadir dalam pesta rakyat usai pelantikan dirinya bersama Ahok, di depan Balai Kota DKI Jakarta, pertengahan Oktober lalu.

Pesta yang dihadiri ribuan warga, didominasi pedagang kaki lima dan kaum buruh. Mereka tumpah ruah larut dalam kegembiraan memiliki gubernur dan wakil gubernur baru yang diharapkan akan pro rakyat.

Tak mau menyia-nyiakan kepercayaan, seusai dilantik Jokowi langsung meluncur ke sejumlah kampung kumuh. Rutinitas itu pun berulang dilakukan pada hari-hari berikutnya. Dia meninjau kali Ciliwung, kemacetan, banjir, rumah sakit, hingga sekolah. Sedangkan wakilnya, jaga kandang menata birokrasi. Rapat dengan kepala-kepala dinas dan satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) serta mewakili Pemprov DKI menjalin kemitraan dengan pihak lain, baik pemerintah maupun swasta.

Jelang 100 Hari Jokowi-Ahok

Dua bulan lebih “Dwi Tunggal” ini bekerja. Cibiran dan kritikan mulai datang. Konon macet masih saja terjadi, bahkan kian parah. Banjir juga demikian. Sejumlah elemen warga?meski dalam skala kecil?merasa tidak puas dengan kebijakan keduanya. Beberapa kali warga di wilayah tertentu berdemo memprotes penggusuran dan kebijakan penataan yang menurut mereka merugikan.

Terlepas dari pro dan kontra soal tudingan lambannya realisasi program-program yang telah dicanangkan, beberapa pakar menganggap Jokowi-Ahok telah bekerja, meski belum maksimal.

Di sisi lain, masyarakat boleh jadi berharap terlalu banyak kepada Jokowi-Ahok bisa menyelesaikan persoalan Jakarta secara “bim salabim”. Mereka terlampau kagum dan terhipnotis dengan perubahan dalam jargon ‘Jakarta Baru’ yang sejatinya hanya harapan baru tercapainya Jakarta yang lohjinawi.

Setidaknya?mengulang komentar para pakar?Jokowi telah bekerja, menepati satu demi satu janji kampanyenya. Kartu Jakarta Sehat misalnya. Telah dinikmati ribuan warga menengah ke bawah ibu kota. Meskipun masih menyisakan aneka persoalan di lapangan, seperti antrean yang kurang manusiawi di loket farmasi rumah sakit. Belum lagi membengkaknya utang Pemprov DKI ke rumah sakit.

Program lainnya, Kartu Jakarta Pintar (tahap pertama) juga telah sampai langsung ke tangan siswa SMA/SMK. Kendati, lagi-lagi banyak perdebatan soal bagaimana mengontrol penggunaan tabungan dalam KJS tersebut. Namun, setidaknya dana miliaran ini tidak lagi masuk program Biaya Operasional Sekolah (BOS) yang rawan diselewengkan.

Alhasil, tidak adil kiranya bila Jokowi ditempatkan sebagai Dewa yang bisa menyulap Jakarta dalam sekejap. Ini lantaran silang sengkarutnya persoalan ibu kota. Jakarta berpenduduk 9 juta lebih, terdiri dari gelandangan, pedagang keliling, guru, pegawai negeri dan kantoran, pengusaha, menteri, hingga Presiden. Jakarta juga minim area hijau dan tempat bermain anak-anak. Permukiman berdempetan, drainase buruk, tidak ada resapan air hujan, macet karena masyarakat berlomba-lomba memenuhi jalan dengan kendaraan, dan banyak masalah lainnya.

Karenanya tidak heran warga Jakarta sangat rentan gesekan. Dalam berbagai kesempatan selalu saja terjadi tawuran warga atau maling yang ditangkap lalu dihakimi hingga sekarat.

Butuh konsep yang jelas dan matang untuk segera merealisasikan program ideal ‘Jakarta Baru’-nya Jokowi. Di samping, tentu saja membawa serta warga Jakarta sebagai subjek, bukan hanya objek. Masyarakat Jakarta harus diajak menyelami rumitnya persoalan ibu kota sekaligus diminta urun rembugnya dalam menjaga kesinambungan pembangunan.

Konsep ini juga perlu disampaikan secara gamblang dan tidak sepotong-sepotong, untuk kemudian disesuaikan dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) DKI Jakarta hingga 2030 mendatang. Kita tunggu saja realisasi dari program-program berikutnya. Selamat Bekerja Pak Jokowi!

Sumber:http://kaleidoskop.okezone.com/read/2012/12/26/349/737119/jokowi-ahok-selebriti-politik-2012
Galery Berita Unik Dan Menarik
Galery Berita unik dan Menarik Updated at: 12/30/2012 12:40:00 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Xpresikan Komentar sobat disini sesuka hati, sesuai dengan Tuntunan Demokrasi dan tanpa menyakiti siapapun yang tak layak disakiti !!!
No Spam
No Life Link
No Sara
No Teror